Bab 1
Arti dan Cakupan Politik Hukum
Pengertian
Politik Hukum adalah legal policy atau garis (kebijakan) resmi tentang hukum yang akan diberlakukan baik dengan pembuatan hukum baru maupun dengan penggantian hukum lama dalam rangka mencapai tujuan Negara.
Hukum Sebagai Alat
Sunaryati hartono mengemukakan tentang hukum sebagai alat sehingga secara praktis politik hukum juga merupakan alat atau sasaran dan langkah yang dapat digunakan oleh pemerintah untuk menciptakan system hukum nasional guna mencapai cita-cita bangsa dan tujuan Negara
Dasar pemikiran dari berbagai definisi yang seperti ini didasarkan pada kenyataan bahwa Negara kita mempunyai tujuan yang harus dicapai dan upaya untuk mencapai tujuan itu dilakukan dengan menggunakan hukum sebagai alatnya melalui pemberlakuan atau penidakberlakuan hukum-hukum sesuai dengan tahapan-tahapan yang dihadapi oleh masyarakat dan Negara kita.
Cakupan Studi Politik Hukum
Studi politik hukum mencakup sekurang-kurangnya mencakup tiga hal yaitu : pertama, kebijakan Negara (garis resmi) tentang hukum yang akan diberlakukan atau tidak diberlakukan dalam rangka pencapaian tujuan Negara kedua, latar belakang politik, ketiga penegakkan hukum dalam kenyataan lapangan.
Hukum Sebagai Produk Politik
Secara sekilas pernyataan “ hukum sebagai produk politik “ dalam pandangan awam bisa dipersoalkan sebab pernyataan tersebut memposisikan hukum sebagai subsistem kemasyarakatan yang ditentukan oleh politik.
Secara metodologis ilmiah sbenarnya tidak ada yang salah dari pernyataan tersebut, semuanya benar tergantung pada asumsi dan kosnep yang dipergunakan.
Haruslah diingat bahwa kebenaran ilmiah, terutama, didalam ilmu-ilmu social dan humaniora tidak ada yang mutlak yang ada hanyalah kebenaran relative.artinya kenearan ilmiah itu hanya benar menurut asumsi dan kosnep serta indicator yang dipergunakan usntuk istilah atau variable tertentu dalam suatu karya ilmiah.
Pernyataan bahwa hukum adalah produk politik adalah benar jika didasarkan pada das sein dengan mengonsepkan hukum sebagai undang-undang. Memang pernyataan bahwa hukum adalah produk politik seperti pengertian diatas akan menjadi lain atau menjadi salah jika dasarnya adalah das sollen atau jika hukum tidak diartikan sebagai undang-undang.
Jika seseorang menggunakan das sollen adanya hukum sebagai dasar mencarai kebenaran ilmiah dam memberi arti hukum diluar undang-undang maka pernyataan hukum merupakan produk politik tentu tidak benar. Mungkin yang benar politik merupakan produk hukum.
Seperti dkemukakan diatas buku ini menyajikan hasil penelitian yang berpijak dari asumsi dan konsep tertentu bahwa hukum merupakan produk politik sebagai fakta sebenarnya bukan hanya hukum dalam dalam arti UU yang merupakan produk politik , tetapi juga bisa mencakup hukum dalam arti-arti yang lain termasuk konstitusi atau undang-undang Dasar.
Dari sudut pandangan hukum, suatu revolusi yang jaya dengan sendirinya yang merupakan suatu kenyataan yang menciptakan hukum, dan oleh Karena itu kesahan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia harus dipertimbnagkan dengan menunjuk pada berhasilnya revolusi Indonesia.
Konfigurasi Politik dan Produk Hukum
Berpijak dari asumsi bahwa politik determinan atas hukum sehingga hukum merupakan produk politik. Politik sebagai independent variable secara ekstrim dibedakan atas politik yang demokratis dan politik yang otoriter. Sedangkan hukum sebagai dependent variable dibedakan atas hukum yang responsip dan hukum yang ortodoks. Konfigurasi politik yang demokratis akan melahirkan hukum yang responsive sedangkan konfigurasi politik yang otoriter akan melahirkan hukum yang ortodoks atau konservatif.
Karena istilah-sitilah dalam social kerapkali mempunyai arti atau menimbulkan penafsiran yang ambigu maka variagbel atas pilihan asumsi diatas, setelah dikonsepkan diberi indicator-indikator sebagi berikut :
Indikator system politik
Konfigurasi politik Demokratis
- Parpol dan Parlemen kuat, menentukan haluan atau kebijakan Negara
- Lembaga Eksekutif (pemerintah) netral
- Pers bebas, tanpa sensor pemberedelan
Konfigurasi politik otoriter
- Parpol dan parlemen lemah dibawah kendali eksekutif.
- Lembaga eksekutif (pemerintah) intervensionis
- Pers terpasung, diancam sensor dan pemberedelan
Indikator karakter Produk Hukum
Karakter produk hukum responsive
- Pembuatannya partisipatif
- Muatannya aspiratif
- Rincian isinya limiatif
Karakter Produk hukum Ortodoks
- Pembuatannya sentralistik-dominatif
- Muatannya positivisit-instrumentalistik
- Rincian isinya open interpretative
BEnarkah konfigurasi politik demokratis melahirkan hukum-hukum resposnif sedangkan konfigurasi politik yang otoriter melahirkan hukum-hukum ortodiks ? hubungan kausalitas tersebut memang benar sepanjang menyangkut hukum public yang berkaitan dengan gazagsverhouding (hubungan kekuasaan). Artinya untuk hukum-hukum public yang berkaitan dengan gazagsverhouding konfigurasi yang demokratis melahirkan hukum yang responsive, sedangkan konfigurasi politik yang otoriter melahirkan hukum yang ortodoks. Gazagsverhouding menjadi interviening variable yang dapat menjelaskan bahwa bisa saja lahir hukum responsive didalam konfigurasi politik yang otoriter sejauh menyangkut produk hukum privat (perdata) dan tidak terkait dengan hubungan kekuasaan.
Bab 2
Pengaruh Politik Terhadap Hukum
Intervensi Politik atas Hukum
Politik hukum secara sederhana dapat dirumuskan sebagai kebijaksanaan hukum (legal Policy) yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah, mencakup pula pengertian tentang bagaimana politik mempengaruhi hukum dengan cara melihat konfigurasi kekuatan yang ada dibelakang pembuatan dan penegakan hukum itu. Disini hukum tidak hanya dipandang sebagai pasal-pasal yang bersifat imperative atau keharusan-keharusan yang bersaifat das sollen, melainkan harus dipandang sebagai subsistem yang dalam kenyataan (das sein) bukan tidak mungkin sangat ditentukan oleh politik, baik dalam perumusan materi dan pasalpasalnya maupun dalam implementasi dan penegakannya.
Asumsi Dasar
Situasi dan kondisi Indonesia dengan mengunakan asumsi bahwa hukum merupakan produk politik dengan asumsi ini maka dalam menjawab hubungan antara keduanya itu hukum dipandang sebagai dependet variable (variable terpengaruh) sedangkan politik diletakkan sebagai independent variable (variable berpengaruh) peletakan hukum sebagai variable yang tergantung atas politik atau politik yang determinan atas hukum itu mudah dipahami dengan melihat realitas, bahwa pada kenyataannya hukum dalam artian sebagai peraturan yang abstrak merupakan kristalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling berinteraksi dan saling bersaing.
Ambiguitas Istilah, Konseptualisasi dan Indikator
Studi dalam buku ini menggunakan dua konsep yang kotomis baik untuk variable politik maupun untuk variable hukumnya. Variabel politik dipecah atas konfigurasi politik otoriter, sedangkan produk hukum dibedakan atas produk hukum yang berkarakter responsive dan produk hukum yang berkarakter konservatif atau ortodoks. istilah-istilah tersebut diambil dari berbagai lteratur tentang politik dan hukum yang kemudian diberi konsep sendiri, dengan momodifikasi berbagai konsep yang telahada, untuk keperluan studi ini. Untuk studi ini istilah-istilah tersebut sengaja dibingkai dengan konsep dan indicator tertentu, sebab dari istilah-istilah tersebut dapat lahir pengertian yang tidak tunggal karena sifatnya yang ambigu. Ambiguitas arti sitilah-istilah ini bahkan sangat sering terjadi dalam ilmu social sehingga konseptualisasi dan penentuan indicator atas konsep-konsep itu menjadi sangat diperlukan.
Sebenarnya semua itu benar menurut konsep dan indicator yang digunakan. Demokrasi dan Otoriter adalah istilah-istilah yang mengandung pengertian yang ambigu. Dalam berbagai literatur, banyak ditemui perbedaan antara demokrasi normative dan demokrasi empiris yang belum tentu berjalan seiring. Apa yang secara normative-kinstitusional demokrasi belum tentu demokratis pula dalam kenyataan emprisnya.
Dari segi lain perlu dingat bahwa istilah-istilah tersebut seharusnya lebih dahulu dipandang secara netral, terlepas dari soal baik dan buruk, sebab dalam soal ini pun kesimpulannya akan tergantung pada sudat pandang dan pilihan konsep serta indicator-indikatornya. Demokrasi bisa berarti baik dan otoriter dapat berti jelek dan otoriter berarti baik jika dipandang dari segi tertentu yang lain, seperti karena kemanfaatan ekonominya bagi masyarakat yang dilayani.
Bingkai Buku
Dengan demikian suatu karya ilmiah harus dipahami dari konsep-konsep dan indicator-indikator yang digunakannya sebagai bingkainya dan didahului dengan pembebasan dari opriori dan penetralan dari penilaian tentang baik atau jeleknya konsep yang dipelajari.buku ini memandang konsep demokrasi sebagai system politik yang secara normative dan empiris atau secara appearance dan essence, membuka peluang luas bagi berperannya rakyat untuk aktif menentukan kebijaksanaan Negara dan jalannya pemerintahan. Indicator yang dipergunakan pada variable konfigurasi politik adalah peranan lembaga perwakilan rakyat, peranan pers, dan peranan eksekutif sedangkan idikator bagi produk hukum adalah proses pembuatanya, pemberian fungsinya, dan peluang untuk menafsirkannya. Pada konfigurasi politik yang demokratis lembaga perwakilan rakyat sangat berperan dalam menentukan arah kebijaksanaan dan program politik nasional. Sehingga parlemen dapat benar-benar dipandang sebagai representasi rakyat yang diwakilinya pers memiliki kebebasan yang relative tinggi, sedangkan pemerintah melaksanakan keputusan-keputusan lembaga perwakilan rakyat dan menghormatinya, sbagai representasi rakyat. Sementara itu, pada produk hukum yang berkarakter responsip akan terlihat bahwa proses pembuatannya bersifat partisipatif, dalam arti menyerap partisipasi kelompok social maupun individu-individu di dalam masyarakat. Menyerap aspirasi masyarakat secara besar-besaran sehingga mengkristalisasikan berbagai kehendak masyarakat yang saling bersaing, dan membatasi space bagi pemerintah untuk membuat tafsiran-tafsiran yang terlalu banyak ditentukan oleh visi dan kekuasaan politiknya sendiri. Sedangkan pada produk hukum yang berkarakter konservatif terjadi hal yang sebaliknya.
Dapat diduga bahwa hipotesis atas pertanyaan-pertanyaan akademis diatas dapat dirumuskan dengan tegas, bahwa konfigurasi politik yang demokratis akan melahirkan produk hukum yang responsive, sedangkan konfigurasi politik yang otoritrer akan melahirkan produk hukum yang konservatif. Tetapi benarkah demikian? Setelah ditelaah secara medalam ternyata pertanyan hipotesis itu terutama benar atau berlaku untuk jenis hukum tertentu, yaitu hukum-hukum public yang mengatur hubungan kekuasaan atau hukum-hukum tentang politik. Sehingga semakin serat sebuah produk hukum dengan isi tentang hubungan kekuasaan, maka semakin signifikan kebenaran pernyataan bahwa konfigurasi politik tertentu senantiasa melahirkan produk hukum dengan karakter tertentu. Untuk hukum-hukum privat, meskipun hipotesis tersebut benar berlaku, namun sentuhannya tidak terlalu kuat.
Perlu dikemukakan bahwa kualifikasi tentang konfigurasi politik dan karakter produk hukum tidak bisa diidentifikasi secara mutlak, sebab dalam kenyataannya tidak ada satu negarapun yang sepenuhnya demokratis atau sepenuhnya otoriter. Begitu juga tidak ada satu Negara pun yang memproduk hukumnya dengan karakter yang mutlak responsive atau mutlak konservatif. Dinegara-negara yang dukualifikasi sebagai Negara demokratis ada kalanya terjadi tindakan-tindakan yang juga otoriter dan sebaliknya di Negara-negara yang di kualifikasi sebagai Negara otoriter kadang kala ditemui juga tindakan-tindakan yang demokratis . itu juga terjadi pada karakter produk hukum yang dilahirkan oleh konfigurasi politik. Kulaifikasi kedalam konsep-konsep seperti itu hanya dilihat dari kecendrungan yang sangat kuat pada salah satu konsep yang terletak di dua ujung spektrumnya.
Hasil setudi dalam buku ini menunjukkan bahwa sepanjang sejarah Indonesia telah terjadi tolak tarik antara konfigurasi politik yang demokratis dan konfigurasi yang otoriter, meskipun semua konstitusinya menetapkan demokrasi sebagai satu asas hidup bernegara yang sangat fundamental. Bahkan dengan satu UUD yang sama dapat lahir konfigurasi politik yang berbeda pada periode atau rezim yang berbeda. Perubahan karakter produk hukum juga terjadi secara tolak tarik dengan senantiasa mengikuti perubahan konfigurasi politik yang melatarbelakanginya. Oleh karena itu, jika masyarakat mendambakan lahirnya hukum-hukum yang berkarakter responsive, maka yang dulu harus diupayakan adalah menata kehidupan politiknya agar menjadi demokratis, sebab bagaimanapun hukum merupakan produk politik.
Bab 3
Pilihan Konsepsi dan Indikator tentang Politik dan Hukum
Berangkat dari Asumsi dasar bahwa hukum merupakan produk politik yang memandang hukum sebagai formalisasi atau kristalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling berinteraksi dan saling bersaing. Dari perspektif seperti ini, studi ini memfokuskan sorotannya pada politik hukum di Indonesia dengan konseptualisasi dan penentuan indicator-indikator tertentu. Studi ini juga melihat bahwa dikalangan para ahli masih terdapat perbedaan pendapat tentang letak politik hukum. Ada yang melihatnya sebagai bagian dari ilmu politik. Meskipun sebuah pernyataan posisi tentang politik hukum dalam bidang ilmu tidak terlalu relevan untuk di nyatakan,namun studi ini mengikuti pandangan bahwa politik hukum merupakan bagian dari ilmu hukum.
Jika adanya Pertanyaan tentang hubungan kausalitas antara hukum dan politik atau pernyataan tentang apakah hukum yang mempengaruhi politik ataukah politik yang mempengaruhi hukum.
Kegiatan legislative (pembuatan UU) Dalam kenyataannya memang lebih banyak membuat keputusan-keputusan politik disbanding dengan menjalankan pekerjaan hukum yang sesungguhnya, lebih-lebih pekerjaan hukum itu diakitkan dengan masalah prosedur. Tampak jelas bahwa lembaga legislative ( yang menetapkan produk hukum) sebenarnya lebih dekat dengan politik dari pada dengan hukum itu sendiri. Dengan demikian jawaban atas hubungan kausalitas antara hukum dan politik dapat berbeda, tergantung dari perspektif yang dipakai untuk memberikan jawaban tersebut.
Mengapa Politik Hukum?
Definisi atau pengertian politik hukum yang bervariasi. Namun dengan meyakini adanya persamaan substantive anatar berbagai pengertian bahwa politik hukum adalah legal policy yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah Indonesia yang meliputi : pertama pembangunan hukum yang berintikan pembuatan dan pembaruan terhadap materi-materi hukum agar dapat sesuai dengan kebutuhan, kedua pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada termasuk penegasan fungsi lembaga dan pembinaan para penegak hukum.
Politik hukum baru yang berisi upaya pembaruan hukum menjadi keharusan ketika pada tanggal 17 Agustus 1945 Indonesia diproklamasikan sebagai Negara merdeka dengan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai hukum dasarnya. Proklamasi kemerdekaan menuntut pembaruan atau penggantian atas hukum-hukum peninggalan zaman penajajahan Jepang dan Belanda, sebab jika dilaihat dari sudut tata hukum maka proklamsi kemerdekaan merupakan tindakan perombakan secara total. Proklamsi kemerdekaan telah membawa Indonesia pad idealita dan realita hukum yang lain dari sebelumnya. Proklamsi kemerdekaan telah mengubah tradisi masyarakat dari keadaan terjajah menjadi masyarkat bebas (merdeke).
Terbentuknya dan berfungsinya system hukum nasional yang mantap, bersumberkan pancasila dan UUD 1945 , dengan memperhatikan kemajemukan tata hukum yang berlaku, yang mampun menjamin kepastian, ketertiban, dan pertimbangan hukum yang mendukung pembangunan nasional, yang didukung oleh aparatur hukum, sarana, dan prasarana yang memadai serta masyarakat yang ada dan taat hukum.
Akan tetapi seperti telah dikemukakan diatas, cakukan studi tentang politik hukum nasional tidak hanya dilihat dari prespektif formal yang memandang kebijaksanaan hukum dari rumusan-rumusan resmi sebagai produk saja, melainkan dapat dilihat dari latar belakang dan proses keluarnya rumusan-rumusan resmi tersebut.
Konfigurasi Politik dan Produk Hukum
Berdasarkan perspektif yan dipilih untuk studi ini terlihat bahwa dalam hubungan tolak tarik antara politik dan hukum, maka hukumlah yang terpengaruh oleh politik, karena subsistem politik memiliki konsentrasi energi yang lebih besar dari pada hukum. Sehingga jika harus berhadapan dengan politik, maka hukum berada, dalam kedudukan yang lebih lemah.
Sehubungan dengan lebih kuatnya energi politik dalam berhadapan dengan hukum, dengan menggunakan asumsi dasar bahwa hukum sebagai produk politik, maka potik akan sangat menentukan hukum sehingga studi ini meletakan politik sebagai variable bebas dan hukum bagai variable terpengaruh.dengan pernyataan yang lebih spesifik dapat dikemukakan bahwa konfigurasi politik suatu Negara akan melahirkan karakter produk hukum tertentu dinegara tersebut.
Mengenai istilah-istilah konfigurasi politik demokratis dan otoriter serta produk hukum yang berkarakter responsive/populistik dan ortodoks/konservatif/elitis ini perlu mendapat penjelasan teoritis lebih lanjut agar studi ini dapat dipahami secara proporsional.
1. Konfigurasi Politik Demokrasi dan Otoriter
Istilah demokrasi merupakan istilah ambigouos pengertiannya tidak tunggal sehingga berbagai Negara yang mengklaim diri sebagai Negara demokrasi telah menempuh rute-rute yang berbeda
Diakatakan bersifat relative karena kenyataannya ada perbedaan disetiap Negara maupun setiap perkembangannya, sehingga demokrasi maupun totaliterisme atau otoriterisme tidaklah selalu sama antara yang ada di suatu Negara dan di Negara-negara lain.
Sebaliknya totaliterisme menurut Carter dan Herz, ditandai oleh dorongan Negara untuk memaksakan persatuan, usaha menghapus oposisi terbuka dengan suatu pimpinan yang merasa dirinya paling tahu mengenai cara-cara menjalankan kekuasaan melalui suatu elit yang kekal.
Dari gambaran teoritis yang abstrak tentang kedua ujung spectrum politik tersebut sebenarnya secara empiris tidak ada suatu Negara pun yang mengikuti bentuk teoritisnya secara penuh, artinya didalamnya sering banyak variasi.
Begitu juga Negara-negara yang diidentifikasi sebagai Negara dengan rezim otoritarian, tidaklah dapat diidentifikasi secaran tunggal karena tidak dapat disamakan antara yang satu dengan lain. Yang jelas tidak ada rezim otoriatarian yang dianggap monolitik seperti tidak adanya kekuatan-kekuatan yang memperjuangkan demokrasi dapat dianggap seperti itu.
Dapat disimpulkan , konfigurasi poltik suatu Negara tidak dapat dipandang secara hitam-putih untuk disebut demokrasi atau otoriter. Tidak mungkinnya penyebutan mutlak itu akan terasa jika pilihan suatu Negara atas suatu konfigurasi politik dikaitkan dengan tujuan atau keprluan pragramatisnya.
Betapapun, untuk keperluan metodologi, studi ini memilih dua ujung konfigurasi politik yang dikotomis tersebut sebagai salah satu kerangka teorinya, bahwa pemeberian kualifikasi suatu konfigurasi politik pada dasarnya netral.
2. Karakter Produk Hukum
Karakter produk hukum yang dalam studi ini disamakan dengan siafat atau watak produk hukum, sebenarnya dapat dilihat dari berbagai sudut teoritis. Dalam studi tentang hukum banyak identifikasi yang dapat diberikan sebagai sifat atau karakter hukum seperti memaksa, tidak berlaku surut dan umum.
a. Hukum Otonom dan Hukum Menindas
Masuknya pemerintah kedalam pola kekuasaan yang bersifat menindas, melalui hukum , berhubungan erat dengan masalah kemiskinan sumber daya pada elit pemerintahan. Penggunaan kekuasaan yang bersifat menindas terdapat pada masyarakat yang masih berada pada tahap pembentukan tatanan politik tertentu.
Masyarakat yang baru dilahirkan menunjukkan dan membuktikan bahwa ia bisa mengauasai keadaan, menguasai anggota-anggotanya atau menciptakan ketertiban. Tujuan utama yang harus dicapai suatu masyarakat sebagai komitmen politik adalah ketertiban
b. Hukum Ortodoks dan Hukum Responsif
Ada dua macam strategi pembangunan hukum yang akhirnya sekaligus berimplikasi pada karakter produk hukumnya, yaitu pembangunan hukum Ortodoks dan pembangunan hukum responsive pada strategi pembangunan hukum ortodoks peranan lembaga-lembaga Negara (pemerintah dan parlemen) sangat dominana dalam menentukan arah perkembangan hukum. Sebaliknya pada strategi pembangunan hukum yang responsive peranan terletak pada lembaga peradilan yang disertai pasrtisipasi luas kelompok social atau individu-individu didalam masyarakat.
Konseptualisasi dan Ruang Lingkup
1. Lingkup Hukum
Istilah hukum yang jika dilihat dari pohon ilmu hukum sangat luas cakupan atau bidang-bidangnya. Dalam studi ini difokuskan pada hukum public yang secara lebih spesifik mengambil lingkup hukum tata Negara (HTN) dan hukum administrasi Negara (HAN) sebagai suatu bidang yang berkaitan dengan hubungan kekuasaan atau hukum-hukum bidang politik.
2. Konfigursi politik
Konfigurasi politik diartikan sebagai susunan atau konstelasi kekuatan politik yang secara dikotomis dibagi atas dua konsep yang bertentangan secara diametral
a. Knfigurasi politik adalah susunan system politik yang membuka kesempatan bagi partisipasi rakyat secara penuh untuk ikut aktif menentukan kebijaksanaan umum.
b. Konfigurasi politik otoriter adalah susunan system politik yang lebih meungkinkan Negara berperan sangat aktif serta mengambil hamper seluruh inisiatif dalam pembuatan kebijaksanaan Negara.
3. Karakter Produk Hukum
a. Produk hukum responsive/populistik adalah hukum yang mencerminkan rasa keadilan dan memenuhi harapan masyarakat.
b. Produk hukum konservatif/ortodoks/elitis adalah produk hukum yang isinya lebih mencerminkan visi social elite politik, lebih mencerminkan keinginan pemerinta,
Produk hukum yang berkarakter responsive yakni mengandung sebanyak-banyaknya partisipasi masyarakat melalui kelompok-kelompok social dan individu didalam masyarakat.
Dilihat dari fungsinya maka hukum yang berkarakter responsive bersifat aspiratif. Artintya memuat materi-materi yang secara umum sesuai dengan aspirasi atau kehendak masyarakat yang dilayaninya.
Jika dilihat dari sebi penafsiran maka produk hukum yang berkarakter responsive/populistik biasanya memberi sedikit peluang bagi pemertintah untuk membuat penafsiran sendiri melalui berbagai peraturan-peraturan pelaksanaan dan peluang yang sempit itu pun hanya berlaku untuk hal-hal yang betul betul bersifat teknis. Sedangkan produk hukum yang berkarakter ortodok/konserpativ.elitis memberi peluang luas kepada pemerintah untuk membuat berbagai interpretasi dengan berbagai lanjutan yang berdasarkan visi sepihak dari pemerintah dan tidak sekedar masalah teknis.
Bab 4
Konfigurasi Politik dan Produk Hukum pada Periode Demokrasi Liberal
Bab ini akan menelusuri dinamika politik pada periode demokrasi liberal dan melihat pengaruhnya terhadap karakter produk hukum.
Konfigurasi politik
1. Panitia Undang-Undang Dasar
Pada tanggal 7 september 1944 pemerintah jepang mengumumkan janji untuk membri kemerdekaan kepada bangsa Indonesia. Janji tersebut diulang pada tanggal 1 maret 1945 dan diikuti dengan pembentukan panitia yang bertugas mempersiapkan kemerdekaan (tepatnya membuat rancangan UUD)
Panitia sembilan berhasil mencapao kompromi tanggal 22 juni 1945 dengan menyetujui sebuah naskah “mukadimah” UUD yang dikenal dengan piagam Jakarta atau “ The Jakarta Charter “
2. Pengesahan Pembukaan dan Batang Tubuh UUD
Pada tanggal 17 Agustus 1945 kemerdekaan Indonesia dilaksanakan dan untuk melengkapi kemerdekaan Indonesia sehari setelah proklamsi PPKI menyelenggarakan sidang yang mengambil keputusan pokok “mengesahkan pembukaan dan batang tubuh UUD yang disahkan itu adalah naskah “mukaddimah” dan “rancangan UUD” kedua telah disetujui pada sidang II BPUPKI.
3. Sistem Pemerintahan
Sistem pemerintahan Negara mana yang akan dianut dalam UUD mengundang beda pendapat di antara ahli hukum tata Negara . ada yang menyebut presidensial, dan ada yang menyebut kuasai presidensial hal itu terjadi karena muatan UUD memuat unsure parlemen maupun presidensial.
Dari sudut pandang konstitusional konfigurasi yang ada di Indonesia adalah demokratis apapun kualifikasi system pemerintahan yang akan diberikan asas yang dijadikan pijakannya adalah demokrasi.
4. Dari Organis Ke Pluralistik
Perubahan dari dikuasai presidensil ke parlementer ini diikuti semakin bergesernya konfigurasi politik kearah yang lebih pluralistic atau liberal sebab sebelum keluarnya maklumat 14 Nopember itu pemerintah telah mengeluarkan maklumat tanggal 3 nopember 1945 isinya adalah pemberian kesempatan seluas-liasnya kepada rakyat untuk mendirikan partai-partai politik dalam wah system multi partai.
Maklumat pemerintah tanggal 14 nopember 1945 memuat lagi materi Maklumat 3 Nopember 1945.
Keluarnya serangkaian maklumat tersebut dari sudut politik telah menampilkan konfigurasi demokrasi yang memberi tekanan pada peranan rakyat dari pada peranan Negara dalam system pemerintahan parlementer.
5. Republik Indonesia Serikat
Kostitusi RIS yang di berlakukan bersamaan dengan pembubaran Negara kesatuan republic Indonesia tanggal 27 desember 1949 itu menganut bentuk Republik Federasi. System pemerintahanya parlementer disertai kebijaksanaan, bahw parlemenya tidak dapat menjatuhkan pemerintah sperti yang tertuang dalam ketentuan pasal 122 konstitusi RIS. Bagian yang secara langsung menunjuk dianutnya system parlementer adalah pasal 118.
Pemegang kedaulatan didalam RIS adalah pemerintah bersama-sama dengan DPR dan senat ( pasal 1 (2) ) yang sekaligus merupakan badan pembentuk undang-undang khusus.
Dari sudut konstitusi dapat dikualifikasikan bahwa konfigurasi yang dianut pada Zaman RIS adalah demokratis.
6. Dibawah UUDS 1950
Bentuk Negara serikat ternyata tidak berumur panjang karena bentu tersebut tidak sesuai dengan aspirasi masyarakat Indonesia. Satu persatu Negara-negara bagian yang bernaung di bawah RIS menggabungkan diri dengan Republik Indonesia yang sebenarnya merupakan satu Negara bagian juga.
Selanjutnya pada tanggal 15 Agustus 1950 UUDS dinaytakan berlaku sejak 17 agustus 1950 pada masa-masa berikutnya UUD tersebut lebih dikenal sebagai UUDS 1950. UUDS 1950 menganut system parlementer dan dianggap bahwa sejak pemberlakuannya pada tanggal 17 agustus 1950 di mulailah era demokrasi liberal Indonesia sesuai dengan system parlementer yang sebenarnya.
UUD 1950 sejak semula hanya untuk dimaksudkan untuk sementara yakni samapi disusun dan ditetapkannya UUD yang tetap, yang dalam hal ini ditetapkan oleh lembaga yang representative untuk menyusunnya.oleh sebab itu dalam UUDS itu sendiri dicantumkan adanya lembaga yang diberi tugas menyusun UUD yang tetap, yangtentunya lebih sempurna dan dapat menampung aspirasi masyarakat Indonesia tentang penyelenggaraan Negara.
7. Bekerja Pilar-pilar demokrasi
a. Kehidupan kepartaian dan Peranan Badan Perwakilan rakyat
seiring dengan konfigurasi politik yang sangat demokratis pada periode ini timbul partisipasi masyarakat untuk membuat keputusan public.
Berdasarkan aturan Peralihan IV UUD 1945 kekuasaan-kekuasaan penting kenegaraan, termasuk legislative, semula diletakan ditangan presiden engan bantuan Komite Nasional.
KINIP yang dibentuk oleh sidang PPKI tanggal 22 Agustus 1945 untuk pertama kali anggota-anggotanya diangkat oleh presiden dengan kedudukan sebagai pembantu presiden.
sistem kepartaian berdasarkan maklumat pemerintah tanggal 3 nopember 1945 diubah menjadi system banyak partai. Dalam maklumat 3 nopember 1945 itu disebutkan bawa atas usul BP-KINIP kepada pemerintah maka pemerintah memberi kesempatan seluas-luasnya kepda rakyat untuk mendirikan partai-partai politik.
Jumlah partai yang banyak dengan system proporsional pada keanggotaan KNIP telah menyebabkan pembengkakan jumlah anggota KNIP yang pada gilirannyamenyebabkan pula timbulnya pengaruh lembaga legislative yang semakin kuat kepada pemertintah.
Ada perbedaan angka diantar beberapa sumber mengenai jumlah anggota KNIP dilihat dari tahap-tahap perkembangannya.ketika Indonesia menjadi Negara federasi dengan nama Republik Indonesia serikat, peranan lembaga legislative terus berlanjut
Periode 1950 – 1959 aldah masa liberal di mana partai-partai melalui parlemen benar-benar mengatasi kedudukan pemerintah.
Ada dua keanggotaan DPR pada oeriode ini yakni DPR yang dibentuk oleh presiden dan DPR hasil Pemilu. DPR pertama pada masa baktinya lebih kurang 5 ½ tahun telah telah berhasil membuat 197 UU. Sedangkan DPR kedua dalam masa bakti kurang 3 tahun telah menghasilkan 113 UU.
b. Kebebasan Pers.
Sejalan dengan liberalisme yang dianut pada periode ini maka kebebasan pers juga hidup didalam irama ini. Pada kurun waktu bermunculan pula pers mahasiswa, disamping pers umum.
Pemaparan tentang kebangkitan pers mahasiswa Indonesia tersebut menunjukkan beta mudahnya masyarakat dari berbagai golongan mengekpresikan pendapat pada era demokrasi liberal ini .
c. Peranan Pemerintah
pada periode ini kedudukan pemerintah relative lemah atau berada pada kondisi bureau nomia. Lemahnya eksekutif merupakan konsekuensi logis dari terlalu kuatnya partai-partai yang tercermin dari parlemen
Karakter Produk Hukum
1. Hukum Pemilu
a. Pemilu dan Partai Politik
Pemilu merupakan instrument penting dalam Negara demokrasi yang menganut system perwakilan pemilu berfungsi sebagai alat penyaring bagi politikus-politikus yang akan mewakili dan membawa suar rakyat di dalam lembaga perwakilan.
b. Wawasan konstitusional
Semua konstitusi yang pernah berlaku pada periode ini yaitu UUD 1945, konstitusi RIS dan UUDS 1950. menganut paham demokrasi sebagai salah satu asasnya yang fundamental.
Ketiga konstitusi yang pernah berlaku di Indonesia juga menuntut adanya lembaga Pemilu, kendati tidak semua UUD menyebutkan secara eksplisit.
Berbeda dengan UUD 1945, konstitusi RIS dan UUDS 1950 memuat tentang pemilu secara eksplisit. Konstitusi RIS memuat hal tersebut dalam pasal 34, sedangkan UUDS 1950 memuatnya dalam pasal 35.
c. Gagasan yang terhalang RUU Pemilu Menjadi Pimpong
Sejak awal kemerdekaan gagasan untuk menyelenggarakan pemilu selalu menjadi program pemerintah.bahkan pada tahun 1946 di kediri sudah diselenggarakan pemilihan anggota Bdan Perwakilan Rakyat berdasarkan UU keresidenan kediri no.22 dan no.23 yang menggunakan system bertingkat. Sejak penggantian UUD 1945 dengan konstitusi RIS meskipun sudah ada UU tentang Pemilu tingkat nasional, namun gagasan pemilu tidak pernah bisa direalisasikan. Persoalannya adalah bagaimana keanggotaan lembaga perwakilan diatur pengadaannya.
Keanggotaan parlemen di Indonesia yang lahir sebagai konsekuensi berubahnya betuk federal menjadi kesatuan bukan berdasarkan hasil pemilihan umum hal itu disebabkan oleh adanya kesepakatan yang dimuat dalam piagam persetujuan.
Penyelenggaraan pemilu menjadi program pemerintah atau program kerja cabinet, meskipun tidak semua cabinet menempatkannya pada prioritas utama.
Tampaklah program pemilu dan setiap rancangan UU nya seperti bola pimpong antara parlemen dan pemerintah.
Dengan demikian rencana pemilu terhalang. Pada periode 1945 – 1949 rencana itu terhalang oleh peperangan (fisik maupun diplomasi) melawan Belanda.
d. Peristiwa 17 Oktober 1952 dan UU Pemilu
Saling lempar “pingpong” rencan apemilu akhirnya terhenti dan mengkristal menjadi UU Pemilu setelah terjadi pristiwa 17 Oktober 1952 yang terkenal itu. Peristiwa ini merupakan puncak dari perlawanan angkatan perang (sekarang ABRI) terhadap parlemen yang dianggap terlalu banyak mencampuri urusan dapur angkatan perang.
e. UU No.7 Tanun 1953
Ikhtisar muatan UU No.7 Tahun 1953
Bagian I, Tentang pemilihan anggota konstituante dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat mencakup sebelas bab,yaitu :
Bab I Tentang Hak Pilih (4 pasal)
Bab II Tentang Daftar Pemilih (10 pasal)
Bab III Tentang Daerah pemilihan dan daerah pemungutan suara (2 pasal)
Bab IV Tentang badan-badan penyelenggaraan pemilihan (13 pasal)
Bab V Tentang jumlah penduduk warga Negara Indonesia, penetapan jumlah anggota untuk seluruh Negara Indonesia dan untuk masing-masing daerah pemilihan (16 pasal)
Bab VI Tentang pencalonan (25 pasal)
Bab VII Tentang daftar calon (8 pasal)
Bab VIII Tentang pemungutan suara dan penghitungan suara (17 pasal)
Bab IX Tentang penetapan hasil pemilihan (17 Pasal)
Bab X Tentang pengumuman hasil pemilihan dan pemberitahuan kepda pemilih (3 pasal)
Bab XI Tentang penggantian (3 pasal)
Bagian II Tentang keanggotaan, yang memuat 5 Bab, yaitu :
Bab XII Tentang keanggotaan, (6 pasal)
Bab XIII Tentang jabatan-jabatan yang tidak dirangkap dengan keanggotaan (1 Pasal)
Bab XIV Tentang berhentinya keanggotaan (2 Pasal)
Bagian III memuat 1 Bab, yaitu :
Bab XV Tentang pasal-pasal Pidana (17 pasal)
Bagian IV Memuat 1 Bab, yaitu :
Bab XVI Tentang pasal-pasal penutup dan peralihan (10 pasal).
2. Hukum PEMDA
a. Demokrasi, Desentralisasi dan Negara Hukum
Masalah yang biasa menjadi focus perhatian dalam studi tentang pemerintahan daerah (Pemda) adalah asas otonomi dan pelaksanaan desentralisasi dalam hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah
Otonomi haruslah menjadi salah satu sendi susunan pemerintahan yang demokratis. Artinya di Negara demokrasi di tuntut adanya pemerintah daerah yang memperoleh hak otonom.
Ada tiga factor yang memperlihatkan kaitan erat desentralisasi dengan demokrasi yaitu :
1. Untuk mewujudkan prinsip kebebasan
2. Untuk menumbuhkan kebiasaan rakyat memutuskan sendiri berbagai kepentingan yang bersangkutan langsung dengan mereka,
3. untuk memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya terhadap masyarakat yang mempunyai tuntutan yang berbeda.
Adanya desentarlisai dapat dilihat sebagai bagian perwujudan Negara hukum, sebab di dalam prinsip ini terkandung maksud pembatasan kekuasaan terhadap pemerintah pusat.
b. Hubungan kekuasaan antara pusat dan daerah
Pada umumnya hubungan kekuasaan antara pusat dan daerah berdsarkan atas tiga asas yaitu, asas desentralisasi, dekosentrasi dan asas pembantuan. Dalam asas desentaralisasi ada penyerahan wewenang sepenuhnya dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah tentang urusan tertentu, sehingga pemerintah daerah dapat mengambil prakasa sepenuhnya baik yang menyangkut policy, perencanaan, pelaksanaan, maupun pembiayaannya. Pada asas dekosentrasi yang terjadi adalah pelimpahan wewenang kepada aparatur pemerintah pusat dalam arti bahwa policy, perencanaan, dan biaya menjadi tanggung jawab pemerintah pusat, sedangkan aparatur pemerintah pusat di daerah bertugas melaksanakannya. Asas pembantuan berarti keikutsertaan pemerintah daerah untuk melaksanakan urusan pemerintah pusat di daerah itu, dalam arti bahwa organisasi pemerintah setempat (daerah) memperoleh tugas dan kewenanganuntuk membantu urusan-urusan pemerintah pusat.
c. Cara dan cakupan Otonomi
1. Asas Otonomi Formal
Dalam asas ini pembagian tugas, wewenang, dan tanggung jawab antara pusat dan daerah untuk mengatur rumah tangganya sendiri tidak dirinci dalam undang-undang.
2. Asas Otonomi Materiil
Berbalikan dengan asas otonomi formal, maka asas ini memuat secara rinci (didalam peraturan perundang-undangan) pembagian wewenang, tugas, dan tanggung jawab antara pusat dan daerah.
3. Asas Otonomi Riil
Asas otonomi Riil merupakan jalan tengah antara asas otonomi formal dan meteriil. Dalam asas ini penyerahan usrusan kepada daerah otonom didasarkan pada factor-faktor riil.
3. Hukum Agraria
a. Membanjirnya tuntutan Pembaruan
Penelusuran sejarah dan analisis normative hukum pada zaman Hindia Belana telah menunjukkan bahwa hukum agraria zaman colonial sangat eksploitasi, dualistic, feodalisti.
Pemerintah republic Indonesia dibanjiri tuntutan untuk mempelajari kembali secara seksama terhadap peraturan perundang-undangan baru.
Untuk menggapai berbagai tuntutan itu pada tanggal 16 maret 1948, presiden membentuk sebuah komisi yang dikenal dengan Panitia Tanah Konversi dari panitia tersebut menghasilkan UU No.3 tahun 1948 yang menghapus hak konversi
b. Dua jalur Langkah Pembaruan
1. Pengundangan peraturan Secara Persial
Untuk memberi warna nasional bagi hukum agrarian yang berlaku di Indonesia, sebelum dapat mengahsilkan UU agrarian Nasional yang bulat dan koperhensif, pemerintah telah mengeluarkan berbagai peraturan-peraturan perundang-undangan dalam bidang agrarian yang sifatnya persial.
Diantara berbagai peraturan perundang-undangan yang penting yang dilahirkan sebagai kebijaksanaan dan tafsir baru menyangkut hal-hal Sbb :
a. Penghapusan hak konversi dengan UU No.3 tahun 1945 yang kemudian dilengkapi UU No.5 Tahun 1950.
b. Pengahpusan tanah Partikelir dengan UU No.1 Tahun 1958
c. Perubahan peraturan Persewaan Tanah Rakyat dengan UU Darurat No.6 Tahun 1951 yang kemudian dikukuhkan menjadi UU biasa dengan UU No.6 Tahun 1952.
d. Penambahan peraturan dalam pengawasan Hak Atas Tanah dengan UU Darurat No.1 Tahun 1952 yang kemudian dikukuhkan menjadi UU No.24 Tahun 1954.
e. Penaikan besarnya Canon dan Cijns dengan UU No.78 Tahun 1957.
f. Larangan dan penyesuaian Pemakaian Tanah Tanpa izin dengan UU Darurat No.8 Tahun 1954. kemudian diubah dan ditambah dengan UU DARURAT NO.1 Tahun 1956 serta peraturan perundang-undangan lainnya.
g. Pengaturan perjanjian bagi hasil dengan UU No.2 tahun 1960
h. Pengalihan tugas-tugas tentang wewenang Agraria dengan Kepres No.55 Tahun 1955dan UU No.7 Tahun 1958.
2. Panitia Perancang UU Agraria.
a. Panitia Agraria Yogya
Panitia ini menghasilkan 12 Butir saran yang sisampaikan kepda DPR pada bulan Juli 1948 yaitu :
1. Penyatuan UU Agraria untuk menghapus dualisme
2. Adanya system yang dapat memberikan sebidang tanah kepada masing-masing petani agar dapat hidup secara layak.
3. Pengambilan tanah perkebunan yang beroprasi kepada Negara, baik secara lisensi maupun sewa jangka panjang dan lahan berukuran kecil yang disewa untuk jangka panjang kemudian dibagi kembali.
4. Penghapusan perkebunan swasta yang berstatus hak milik
5. pemberian kredit mudarah dan mudah untuk petani.
6. Pembentukan koperasi untuk memasarkan hasil.
7. Program pembebasan orang desa dari beban yang diwariskan sitem feodalisme.
8. Perlindungan terhadap petani kecil yang menyewa lahan dengan memakai [eraturan khusus yang mengatur pembelian hasil panen.
9. Penggiatan industri desa yang berskala kecil dan perpindahan dari jawa ke pulau-pulau luar jawa.
10.Intensifikasi pertanian melalui peningkatan mutu benih dan perluasan system pengairan.
11.Perencanaan yang memungkinkan petani memperoleh bagian dari keuntungan pabrik yang menerima hasil mereka untuk diolah.
12.Koordinasi Negara dan pelaksanaan usaha pengairan maupun keikutsertaan Negara dalam pembagian air.
b. Panitia Agaraia Jakarta
Panitia Jakarta menghasilkan beberapa kesimpulan untuk petani kecil yaitu :
1. Perlu penetapan batas minimum (diusulkan 2 ha)
2. Perlu penetapan batas maksimum (diusulkan 25 ha)
3. Yang dapat memiliki tanah untuk pertanian kecil hanya WNI
4. Untuk pertanian kecil diterima bangunan-bangunan hukum : hak milik, hak usaha, hak sewa, dan hak pakai.
5. Pengakuan hak rakyat oleh atas nama kuasa UU.
C. Pengundangan yang tertunda
Ketika pada tahun 1959 terjadi perubahan konfigurasi politik dengan dekrit 5 juli 1959 RUU tersebut ditarik kembali oleh pemerintah pada tanggal 23 mei 1960. alasan penarikan itu secara yuridis kostitusional dapat dimengerti, sebab RUUitu disusun berdasarkan UUDS 1950 sedangkan UUD yang berlaku berdasarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 adalah UUD 1945.
Dengan demikian, pada periode 1945-1959 pemeruntah belum berhasil mengundangkan sebuah UU Agraria Nasional yang Bulat. Tetapi dapat disimpulkan, bahwa sebenarnya yang terjadi adalah “pengundangan yang tertunda” saja, sebab UUPA (UU No.5 Tahun 1960) yang kemudian benar-benar diundangkan pada periode berikutnya menganut asas-asas yang telah diajukan oleh beberapa panitia, dan dimuat dalam RUU yang pernah diajukan dalam periode demokrasi liberal ini.
Kamis, 12 Januari 2012
Langganan:
Postingan (Atom)